Ilmuwan AS untuk pertama kalinya telah mengekstrak sel induk dari embrio
manusia yang dikloning. Kemajuan baru ini menjanjikan pengobatan yang
lebih efektif untuk sejumlah penyakit serius. Perkembangan ini juga
menimbulkan keprihatinan baru tentang etika kloning manusia.
Kloning manusia atau menciptakan duplikat genetika manusia dilarang di
belasan negara bagian Amerika, dan para ilmuwan umumnya menolak prosedur
tersebut. Tapi hal itu tidak menghambat sebagian periset medis untuk
bekerja mendekati batas itu. Prosedur serupa yang disebut terapi kloning
ditujukan bukan untuk mengkloning manusia tapi untuk menyembuhkan
penyakit. Terapi kloning ini juga dilarang di 7 negara bagian Amerika,
tapi tidak di Oregon.
Di sana, para peneliti Oregon Health and Science University, Portland,
berhasil menanamkan DNA manusia ke sel telur yang dimodifikasi dan
membuahkan embrio yang secara genetik sama dengan DNA donor. Sel induk
kemudian diambil dari jaringan embrio itu. Sel induk ini dapat diubah
menjadi jaringan tubuh, membuka jalan untuk mengganti organ yang rusak
dengan jaringan tubuh sendiri, tanpa takut ada penolakan.
Penelitian ini dipandu oleh keberhasilan dan kegagalan eksperimen
kloning mamalia, primata dan amfibi selama beberapa dekade. Dengan
menggunakan prosedur standar yang disebut transfer inti sel somatik,
para ilmuwan membuat rongga pada materi genetik sel telur yang
disumbangkan 10 perempuan yang sehat dan mengisinya dengan DNA dari sel
kulit. Dari embrio yang dihasilkan, peneliti mengekstrak sel-sel induk.
Shoukhrat Mitalipov memimpin penelitian yang melibatkan lebih dari dua
puluh periset. Para ilmuwan percaya bahwa sel induk hasil kloning itu
bisa memberikan cara baru untuk mengobati penyakit, misalnya penyakit
Parkinson. Mitalipov mencatat penyakit itu menyerang dan menghancurkan
sel-sel otak yang memproduksi senyawa kimia L-Dopa, menyebabkan gangguan
gerak.
"Tidak ada jenis sel lain yang dapat membuat senyawa itu. Jadi sekarang
di laboratorium, kita dapat mempelajari bagaimana memproduksi neuron
yang akan memproduksi senyawa ini dan mencangkokkannya pada pasien
penyakit ini," kata Mitalipov.
Dengan menggunakan DNA dari sel kulit pasien Parkinson, para ilmuwan
dapat membuat terapi khusus tanpa khawatir tubuh pasien menolak
pengobatan tersebut.
"Saya pikir ini sangat mengesankan dari segi ilmu pengetahun," kata Alta Charo.
Alta Charo, pakar etika biologi di University of Wisconsin Law School,
mengaku dia juga yakin masih terlalu dini untuk mengatakan apakah
pengobatan semacam ini akan menjadi norma atau para ilmuwan akan mencari
sumber sel induk dengan cara yang kurang kontroversial. Kemana pun
arahnya, Charo mendukung penggunaan sel induk untuk menyembuhkan
penyakit.
Charo menambahkan, "Saya pikir kewajiban moral kita kepada orang-orang
yang ada di antara kita, yang sakit dan yang membutuhkan, mengalahkan
pertimbangan politik dan hubungan masyarakat serta masalah persepsi
tentang entitas mirip embrio yang berusia dua atau tiga hari."
Tapi dengan penerbitan makalah periset Oregon Health and Science
University ini, pakar etika biologi Johns Hopkins University Jeffrey
Kahn mengatakan sekarang kloning manusia tersedia secara luas.
Kahn mencatat bahwa Amerika tidak memiliki UU federal yang melarang
kloning manusia, dan dia yakin sekarang adalah waktu yang tepat untuk
memperdebatkannya.
"Kita lain dalam hal ini di mana banyak negara yang telah membahas isu
ini memiliki kebijakan federal yang melarang kloning reproduksi.
Sebagian negara itu memiliki kebijakan yang melarang segala jenis
kloning embrio manusia. Saya pikir ini tidak tepat. Tapi saya pikir kita
harus mencoba mencari tahu apa yang kita yakini dapat diterima dan apa
yang tidak," kata Jeffrey Kahn.
Artikel tentang kloning embrio manusia untuk memperoleh sel induk ini dimuat dalam jurnal Cell.
Source: http://www.voaindonesia.com/content/ilmuwan-as-ekstrak-sel-induk-dari-embrio-manusia/1666501.html
Ilmuwan AS Ekstrak Sel Induk dari Embrio Manusia Hasil Kloning
Diposting oleh
Unknown
|
Kamis, 18 Juli 2013
0 komentar:
Posting Komentar